Satu penelitian ilmiah terbaru menunjukkan
kematian bukanlah pemberhentian terakhir, sementara sejumlah observasi ilmiah
menyimpulkan kehidupan dan kematian ternyata berkorespondensi dengan "alam
lain" (multiverse).
Asumsi ini disempurnakan oleh
teori ilmiah terbaru bernama biosentrisme.
Menurut teori ini, kendati
tubuh dirancang untuk hancur sendiri, ada satu "energi" yang bekerja
dalam otak, yaitu "perasaan hidup" (mengenai 'siapakah saya').
"Energi itu tidak musnah
ketika manusia mati," tulis ilmuwan terkemuka dunia dan pengarang buku
"Biocentrism", Robert Lanza, dalam Huffington Post, pekan ini.
Sains sendiri meneorikan energi
tak bisa mati.
Menurut Lanza, energi
"perasaan hidup" itu tak tercipta, tapi tak juga bisa musnah.
Lantas, apakah energi ini berpindah dari satu dunia ke dunia lain?
Satu eksperimen yang belum lama
ini diekspos jurnal Science memperlihatkan para ilmuwan bisa mengubah sesuatu
yang sudah terjadi di masa lalu.
Lewat percobaan menggunakan
"beam splitter" (perangkat optik yang membelah berkas cahaya),
partikel-partikel energi diputuskan keberadaannya.
Ternyata, dari sini dapat
ditentukan apa yang berlaku pada partikel ini di masa lalu sehingga seseorang
dapat menyelami pengalaman di masa lalu.
Kaitan antara pengalaman dan
semesta ini melampaui gagasan-gagasan manusia mengenai ruang dan waktu. Tapi
biosentrisme sendiri menyatakan, ruang dan waktu bukan objek sulit seperti yang
dibayangkan.
Teori ini menganalogikan waktu
sebagai udara yang sia-sia berusaha ditangkap manusia karena memang tak pernah
bisa diraih. Demikian pula waktu.
"Anda tak bisa melihat
apapun melalui tulang tengkorak yang menyelimuti otak Anda," kata Robert
Lanza.
Dia melanjutkan, "Apa yang
Anda lihat dan rasakan sekarang adalah putaran informasi pada otak Anda."
Menurut biosentrisme, ruang dan
waktu adalah semata alat penghimpun informasi secara bersamaan.
Oleh karena itu, dalam dunia
yang tidak ada waktu dan tidak ada ruang, tak ada istilah kematian. (*)